Sumedang – Artificial Intelligence (AI) dapat digunakan untuk mendukung analisis aplikasi penginderaan jauh untuk potensi bencana yang berkaitan dengan cuaca dan iklim ekstrem.
Berbagai inovasi yang lahir dari hasil pengolahan big data menjadi sebuah sistem pendukung keputusan atau Decision Support System (DSS) bagi para pemangku kebijakan.
Dalam kegiatan “AI Talks”, di Universitas Padjadjaran, Sumedang, Sabtu, (14/10), Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin mengungkapkan, terdapat sembilan DSS dari PRIMA BRIN dalam upaya mendukung sektor-sektor pembangunan nasional.
Erma merinci sembilan produk tersebut, yaitu SADEWA untuk memprediksi cuaca selama tiga hari kedepan kaitannya dengan kebencanaan hidrometeorologis, SEMAR untuk perikanan dan cuaca ekstrem laut, SRIKANDI untuk kualitas udara kaitannya dengan sektor kesehatan dan lingkungan, SANTANU untuk pemantauan hujan, JATAYU untuk cuaca penerbangan, SRIRAMA untuk perubahan iklim, KAMAJAYA untuk awal musim dan kaitannya dengan pertanian, INDRA untuk sumber daya air, dan GATOTKACA untuk pemantauan kelembaban atau uap air di atas wilayah Indonesia.
“BRIN terus berupaya bekerja sampai hilir, hingga tercipta produk yang benar-benar bisa diakses oleh semua orang untuk bisa dimanfaatkan, maka AI-nya nanti mendukung produk-produk itu,” jelasnya.
Erma melanjutkan, dia bersama kelompok Riset di BRIN sedang membuat inovasi dari perangkat model oseanografi, yaitu model atmosfer dan model laut yang digabungkan. Kondisi El Nino saat ini perlu memperhitungkan suhu permukaan laut yang akurat, karena suhu laut saat ini juga bisa mengontrol cuaca.
Pada dasarnya, ungkap dia, AI bergantung pada data, jika data history-nya benar kemudian dibangun algoritma yang tepat, maka hasilnya juga tepat.
Menurut Doktor lulusan S3 Klimatologi Institut Teknologi Bandung ini, produk data di mana terdapat AI di dalamnya yang berkaitan dengan cuaca dan iklim harus memiliki berbagai perangkat alat teknologi pengamatan, lalu menghasilkan big data.
“Misalnya, satu hari prediksi cuaca 24 jam itu 92 GB, lalu running 4 kali, jadi bisa dibayangkan 4 kali 92 GB. Besoknya segitu lagi, besoknya segitu lagi, jadi terus nambah, lalu data ini tersimpan pada High Performance Computing (HPC) yang mana bisa menyimpan data sangat besar,” tuturnya.
DSS yang merupakan interface teknologi yang diciptakan sebagai bagian dari inovasi produk riset hendaknya tidak hanya berhenti di paper atau makalah ilmiah saja, namun harus bisa dimanfaatkan untuk mendukung berbagai sektor pembangunan nasional.
“Sektornya apa saja? Ya, pertanian, energi, transportasi, lingkungan, kesehatan, kebencanaan, kelautan, dan lain-lain,” sambungnya.
Di sisi lain, Erma mengungkap masalah cuaca saat ini sudah diketahui bersama bahwa semua solusi harus berdasarkan basic knowledge tentang perubahan iklim.
Dibutuhkan ide pemikiran yang kreatif untuk mengurangi pemanasan bumi, karena caranya hanya dengan diredam agar pemanasan jangan terus naik.
“Karbon yang sudah ada di atmosfer yang banyak itu harus ‘ditangkap’. Yang paling sederhana adalah tanaman harus diperbanyak dan jangan makin ditebang-tebang, tapi tidak cukup itu saja, harus ada ide kreatif lainnya,” ajak Erma.
Pengurangan penggunaan energi dari bahan bakar fosil juga perlu dilakukan. Kata Erma, kalau dicermati lagi di Amerika saja, 46 persen karbon disumbang dari transportasi, kemudian 29 persen dari industri, dan sisanya adalah dampak kebakaran hutan.
“Kebakaran hutan di Amerika karena angin panas kering melewati hutan yang kering, kalau di Indonesia mungkin adalah pembakaran hutan dan lahan,” ungkapnya.
Bumi sudah memanas sepuluh tahun lebih cepat. El Nino pun ternyata setahun lebih cepat terjadi, sehingga ada potensi iklim ekstrim yang memburuk di wilayah Indonesia dan ini harus diantisipasi serta adaptasi.
“Harus kita lakukan, semoga teman-teman mahasiswa yang ada di sini punya inovasi dan kreativitas yang berkaitan dengan solusi praktis dalam menghadapi, mempersiapkan, maupun beradaptasi dengan iklim yang semakin ekstrem dan bumi yang memanas,” pungkasnya. (Red)