JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan MPR RI tidak dapat meng-inisiasi sebuah proses amendemen, tetapi merespon usulan amendemen jika sudah diajukan dan memenuhi persyaratan, baik syarat administrasi maupun syarat substansi.
“Wacana amendemen terbatas terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang pada mulanya ditujukan untuk menghadirkan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara, ternyata berkembang dan terus digoreng-goreng menjadi isu yang semakin luas. Salah satunya dikaitkan dengan wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Padahal, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan dirinya bakal taat pada konstitusi,” ujar Bamsoet dalam Diskusi Bersama Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), di kantor CSIS, Jakarta, Rabu (30/3/22).
Turut hadir dari jajaran CSIS antara lain, Harry Tjan Silalahi, Jusuf Wanandi, Clara Joewono, J. Kristiadi, Yose Rizal Damuri, Medelina Hendytio, Shafiah Muhibat, Arya Fernandes, Noory Okhtariza, NIckey Fahrizal, dan Edbert Gani Suryahudaya.
Sementara pengurus SOKSI yang hadir antara lain, Ketua Umum Ahmadi Noor Supit, Ketua Harian A.A. Bagus Adhi Mahendra Putera, Sekjen M. Misbakhun, Bendahara Umum Robert Kardinal, Ketua Dewan Pakar Bomer Pasaribu, Wakil Ketua Umum Fatahillah Ramli, Wakil Ketua Umum Freddy Latumahina, dan Wakil Sekjen Junaidi Elvis.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, jika pun tetap ada pihak yang meminta penambahan masa jabatan presiden, maka harus melalui jalur konstitusi dengan mengajukan permohonan amandemen UUD NRI 1945 terlebih dahulu. Tahapan amandemen UUD NRI 1945 ini diatur dalam pasal 37 UUD 1945 dan Pasal 101 sampai dengan Pasal 109 Peraturan MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib MPR RI.
“Posisi MPR akan selalu tegak lurus pada prinsip negara hukum sesuai ketentuan Pasal 1 Ayat 3 UUD NRI Tahun 1945, serta taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tegas Bamsoet.
Namun, tambah Bamsoet. Jika merujuk pada Pasal 37 UUD NRI 1945, peluang amandemen itu terbuka. Bahkan diatur dengan rigit tentang tata cara pengusulan amandemen perubahan pada pasal-pasal UUD NRI 1945 sebagaimana perubahan yang terjadi beberapa kali pada UUD NRI 1945 pasca reformasi, dari naskah aslinya melalui amandemen pertama hingga amandemen keempat yang dilakukan dalam Sidang Umum MPR pada 1-11 Agustus 2002. Perubahan terakhir tersebut meliputi 19 Pasal yang terdiri atas 31 butir ketentuan serta satu butir yang dihapuskan.
“Proses amendemen terhadap UUD perlu diawali oleh hadirnya konsensus dan komitmen, khususnya dari unsur Partai Politik, mengingat sebagian besar Anggota MPR (575 dari 711, atau 80,8 persen) adalah Anggota DPR yang berasal dari Partai Politik. Amendemen juga harus dilakukan dengan mengedepankan pendekatan sikap ke-negarawan-an, dan bukan pendekatan pragmatisme politik,” ujar Bamsoet.
Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan & Keamanan KADIN Indonesia ini menjelaskan bahwa Permohonan perubahan UUD NRI 1945, dapat diajukan kepada Pimpinan MPR oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah Anggota MPR (237 anggota), diajukan secara secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah, beserta alasannya. Usul perubahan tidak dapat diubah, diganti, dan/atau ditarik setelah 3 x 24 jam semenjak usul disampaikan kepada Pimpinan MPR. Dalam waktu paling lama 30 hari, Pimpinan MPR menyelenggarakan rapat dengan Pimpinan Fraksi dan Pimpinan Kelompok DPD untuk memeriksa usul perubahan tersebut.
“Pimpinan MPR kemudian menyelenggarakan Rapat Gabungan untuk menginformasikan dan memutuskan tindak lanjut atas usul perubahan tersebut. Apabila usul ditolak, misalnya tidak memenuhi syarat jumlah pengusul, harus diberikan penjelasan tertulis kepada pengusul. Jika diterima, Pimpinan MPR wajib menyelenggarakan Sidang Paripurna MPR dalam kurun waktu paling lama 60 hari. Seluruh anggota MPR menerima salinan usul perubahan yang dinyatakan telah memenuhi persyaratan tersebut, paling lambat 14 hari sebelum diselenggarakan Sidang Paripurna MPR,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Wakil Ketua Umum Depinas SOKSI ini menerangkan, dalam Sidang Paripurna MPR, setidak-tidaknya dilaksanakan 3 agenda. Yakni, pengusul menjelaskan usulan yang diajukan beserta alasannya, Fraksi dan Kelompok DPD memberikan pemandangan umum terhadap usul perubahan tersebut, serta pembentukan Panitia Ad Hoc untuk mengkaji usulan tersebut dalam jangka waktu yang disepakati. Dalam Sidang Paripurna MPR berikutnya, yang dihadiri minimal 2/3 jumlah anggota MPR (474 anggota), Panitia Ad Hoc menyampaikan hasil kajian. Selanjutnya Fraksi dan Kelompok DPD memberikan pemandangan umum terhadap hasil kajian tersebut.
“Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah 1 anggota dari seluruh anggota MPR, yaitu 357 anggota MPR. Apabila usulan tidak mendapat persetujuan dari minimal 50 persen ditambah 1 anggota MPR maka usulan ditolak dan usulan tersebut tidak dapat diajukan kembali pada masa keanggotaan yang sama. Selain itu, usul perubahan tidak dapat diajukan dalam 6 bulan sebelum berakhirnya masa keanggotaan MPR. Artinya batas waktu terakhir adalah 31 Maret 2024,” terang Bamsoet.
Arya Fernandes mewakili CSIS memaparkan, wacana perpanjangan masa jabatan presiden melalui penundaan Pemilu telah mengingkari spirit dan agenda reformasi 1998. Selain desentralisasi, pelaksanaan pemilihan umum yang demokratis; serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme; spirit lain reformasi adalah pembatasan kekuasaan presiden. Wacana tersebut juga menunjukan lemahnya komitmen kebangsaan terhadap demokrasi. Mengunci peluang terjadinya suksesi kepemimpinan nasional secara berkala dan tertib, serta menutup peluang kompetisi politik dalam pemilihan presiden dan legislatif. Sehingga berpotensi menciptakan instabilitas politik, dan meruntuhkan proses demokratisasi yang telah dibangun sejak dulu.
“Pembatasan kekuasaan dalam negara-negara demokratis dengan sistem presidensial dilakukan untuk menciptakan regenerasi politik pada level nasional dan lokal sehingga memungkinkan elite politik lain ambil bagian dalam suksesi kepemimpinan nasional. Selain itu, hal tersebut bertujuan untuk menghindari potensi pejabat eksekutif membuat kebijakan yang tidak demokratis. Pembatasan periode jabatan presiden juga bertujuan untuk memberikan kepastian bagi presiden mengenai masa jabatannya,” terang Arya Fernandes.
Kepala Badan Bela Negara sekaligus Wakil Ketua Umum FKPPI ini menjelaskan, bahwa MPR saat ini tetap fokus pada Rekomendasi MPR periode 2009-2014 yang dituangkan dalam Keputusan MPR Nomor 4 / MPR / 2014 dan Rekomendasi MPR periode 2014-2019 melalui Keputusan MPR Nomor 8 / MPR / 2019 merekomendasikan kepada MPR Periode 2019-2024 untuk mengkaji substansi dan bentuk hukum Pokok-Pokok Haluan Negara, termasuk membangun konsensus politik dalam penetapan bentuk hukumnya.
Rekomendasi itu juga mengamanatkan bahwa dalam rangka mewujudksan kesatuan sistem perencanaan pembangunan nasional yang berkesinambungan dan terintegrasi dengan sistem perencanaan pembangunan daerah, maka perlu dirumuskan kembali sistem perencanaan pembangunan yang tepat, yang berorientasi pada demokrasi dan kesejahteraan rakyat.
Pentingnya kehadiran sebuah haluan negara, berangkat dari sebuah kebutuhan akan hadirnya prinsip-prinsip yang bersifat direktif, yang akan menjabarkan prinsip- prinsip normatif dalam Konstitusi menjadi kebijakan dasar politik negara, sebagai panduan atau pedoman bagi penyelenggaraan pembangunan nasional.
“Urgensi menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara tersebut mendorong lahirnya wacana amendemen Konstitusi secara terbatas, untuk mengatur kewenangan MPR (sebagai satu-satunya lembaga negara yang merepresentasikan aspirasi politik dan keterwakilan kepentingan daerah) untuk menetapkan PPHN sebagai sebuah Haluan Negara yang harus mempunyai legal standing yang kuat, sekaligus tidak kaku. Dan bentuk hukum yang paling ideal adalah Ketetapan MPR,” pungkas Bamsoet. (Red)